Sabtu, 28 Mei 2011

Fast Break dan Triangle Offence Ala Basket NBA di Piala Dunia



Pola fast break ala basket NBA sebagai resep jitu yang diterapkan Jerman untuk ‘membunuh’ Inggris di perempat final Piala Dunia 2010 ini. Saya mencoba menelaah dan menggali kembali lewat siaran ulang pertandingan tersebut, dan ternyata memang benar. Jerman dengan fasih menerapkan serangan cepat yang menusuk jantung pertahanan lawan ketika lawan melakukan turn over. Keempat gol Jerman ke gawang David James memperagakan sebuah pola pertahanan yang ketat agar lawan membuat kesalahan lalu melakukan umpan-umpan panjang yang tepat dan berujung gol.
Wow, benar-benar seperti ketika Pou Gasol mendapatkan rebound, lalu dioper ke Derek Fisher yang tanpa mengontrol langsung mengoper ke Kobe Bryant yang tinggal melakukan dunk. Tim Panser melakukan ’rebound’ atau ’steal’ lewat barisan pertahanan, lalu dioper ke Mesut Ozil atau Bastian Schweinsteiger lalu ke Thomas Muller dan diselesaikan oleh Miroslav Klose dan Lukas Podolski. Terlepas dari kesalahan Capello dalam meramu tim Union Jack untuk menghadapi Jerman, yang jelas si Deutchland Uber Alles sukses menjadikan Jabulani seperti bola basket yang bisa dioper panjang, cepat, dan akurat untuk menghancurkan Inggris.

Catatan kecil, fast break di basket NBA adalah salah satu favorit momen, bahkan paling favorit yang bisa menjadikan keadaan berbalik atau meninggalkan lawan. Tapi untuk sepakbola hal itu justru akan membuat jalannya pertandingan berjalan lambat karena yang dilakukan hanya menunggu dan menunggu kelengahan lawan. Sepakbola bukan perlombaan memancing.

Mengamati partai 16 besar ini tim-tim bertradisi menyerang ala Belanda dan Argentina juga mulai melakukan pragmatisme. Kalau Brasil dibawah Dunga memang mengandalkan pragmatisme untuk menang, maka asas efisiensi menjadi pertimbangan utama, tidak perduli pertandingan itu membuat tertidur para penonton, apalagi di Indonesia yang siarannya kebanyakan menjelang midnight dan dini hari.

Argentina, kalau di NBA bisa diibaratkan era Michael Jordan di Chicago Bulls dulu dengan pola serangan triangle offence yang cukup efektif. Peran Jordan sudah pasti dipegang oleh si ’ajaib’ Messi. Argentina ketika melawan Meksiko di 16 besar sangan kelihatan sekali mulai meninggalkan sepakbola menyerang nan indah sebagaimana tradisi tim Tango sebelum-sebelumnya. Argentina lebih senang ’menyerahkan’ bola ke Messi mulai dari tengah lapangan, lalu membiarkannya menari-nari melewati hadangan pemain lawan, dan lalu menembak atau memberi assist kepada Tevez dan Higuain. Itulah triangle offence ala Maradona di tim dari negeri Evita Peron. Terlepas dari alasan Maradona bahwa wasit kurang melindungi Messi sehingga dia menginstruksikan Messi untuk tidak banyak memegang bola dan meminta pemain-pemainnya untuk lebih ‘kalem’ dalam menyerang, Argentina jelas mulai pragmatis.

Yang saya sangat kecewa tentu saja Belanda. Sejak kapan Belanda mengadopsi gaya tim basket dimana lebih menitikberatkan ke pertahanan dengan mengandalkan fastbreak untuk meraih kemenangan. Gol Robben dan Sneijder ke gawang Slovakia benar-benar memperlihatkan bahwa Belanda telah berubah. Bermain lebih ‘aman’ Belanda mendapatkan hasil lewat umpan panjang Sneijder yang dieksekusi dengan sempurna oleh Robben, walaupun dengan mengelabuhi 3 pemain bertahan Slovakia. Saya mengira setelah itu Belanda kembali ke asalnya, ke total football. Ternyata saya salah, sepanjang pertandingan Belanda terus bermain aman. Gol Sneijder juga gaya fastbreak, lewat tendangan bebas panjang Van Bronchorst yang dikontrol sempurna Dirk Kuyt sekaligus melewati kiper lawan, lalu menyodorkan umpan mematikan kepada Sneijder yang menceploskan ke gawang yang sudah kosong.

Brasil 2010 ini seperti terobsesi pada tim Samba 2002 yang jadi juara dunia. Triangle offence jaman itu dimainkan dengan sempurna oleh Ronaldinho, Ronaldo, dan Rivaldo yang memporak-porandakan seluruh lawan Brasil. Scolari memanfaatkan keunggulan teknis ketiga bintang tersebut untuk melakukan tiktak segitiga untuk menyerang, sementara pemain lainnya lebih berkonsentrasi ke pertahanan. Saking pragmatisnya, pernah terlihat Scolari berteriak-teriak marah kepada Gilberto Silva yang terlihat ikut aktif menyerang dan kepada Lucio yang melakukan overlap. Nah, cerita di 2010 ini Dunga memanfaatkan Kaka, Rubinho, dan Fabiano untuk melakoni peran triangle, dengan variasi Baptista atau Elano. Walaupun Jogo Bonito dikritik sana-sini, Dunga toh sukses meramu pola sederhana tersebut. Bahkan di 16 besar mampu menggulung tim Chile yang dilatih pelatih cerdas yang hobi menyerang asal Argentina, Marcelo Bielsa.

Paraguay dan Jepang sama-sama bermain aman dari awal hingga akhir perpanjangan waktu. Walhasil, adu penalti pertama di PD 2010 harus dilakoni keduanya. Paraguay lebih beruntung, walaupun kalau melihat laga keseluruhan bolehlah kita menyatakan kalau Paraguay memang lebih ‘berhak’ ke 8 besar. Gerardo Martino yang asal Argentina meninggalkan pola menyerang di kualifikasi zona Amerika Latin yang menempatkan Paraguay jadi runner-up menjadi pola pragmatis di Afsel.

Tapi saya masih terhibur Spanyol yang mengubur Portugal walaupun hanya dengan gol semata wayang David Villa. Seandainya si Eduardo, kiper Portugal, diganti David James mungkin Portugal sudah digelontor 6-7 gol. Benar-benar Eduardo yang sangat gemilang. Spanyol masih menyajikan permainan menyerang dengan tik-tak gemilang dari kaki ke kaki yang diakhiri dengan tendangan atau sundulan ke gawang. Permainan sabar dengan mencoba membongkar pertahanan lawan dari berbagai sisi diperankan dengan baik oleh playmaker Xavi dan Xabi yang dilapis Iniesta dan Busquet serta dengan Torres dan Villa sebagai penggedor sangat memikat. Saya bahkan tidak ngantuk sedikitpun walaupun sudah dinihari dan kelelahan akibat nonton Paraguay-Jepang yang sangat menjemukan. Dan Portugal menjadi pecundang yang dilengkapi oleh Ronaldo yang seperti tidak ada gunanya. Ronaldo tidak pernah melakukan dribling gemilang, sebagaimana sering dia lakukan di MU dan Real Madrid, atau assist. Yang ada malah kehilangan bola terus serta ada pada posisi yang tidak pernah pas.

Itulah 16 besar di Afsel 2010, adopsi pola basket merajalela. Tapi saya masih tersenyum untuk Spanyol, dan berharap agar Argentina dan Belanda ‘tobat’ dan kembali ke pola tradisional mereka. Mudah2an dengan ‘tobat’ itu, saya bisa mengenang PD ini dengan senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar